KERANDA
Oleh: Geesha Andika
Wanita itu duduk di
depan jendela, memandangi pohon-pohon yang tumbuh tak beraturan di depan
rumahnya. Bayangannya sedikit terpantul pada kaca gelap. Kulitnya masih halus,
sehalus saat dia masih gadis perawan. Matanya masih tajam, setajam saat dia
memilih gerabah di pelabuhan dulu. Dan rambutnya masih hitam, sehitam saat dia
berjumpa untuk pertama kalinya dengan sang suami.
Suara langkah kaki
memasuki telinganya, berbarengan dengan lirih isakan. Sekerumun orang
berpakaian serba hitam berjalan. Di barisan depan, beberapa orang pria memandu
sebuah keranda dengan pelapis kain hijau.
“Ada keranda,” sang
wanita berkata.
Suaminya yang tengah
menyeduh kopi di dapur menyahut, “Ada yang mati.”
“Sungguh menyedihkan.
Mereka baru merasakan yang namanya ditandu saat nyawa sudah lepas dari badan.
Benar-benar menyedihkan.”
“Ini sudah bukan zaman
kerajaan, tak ada lagi orang yang sudi menandu orang lain, raja sekalipun—kecuali mereka yang
sudah mati. Anggap saja itu penghormatan terakhir.”
“Tapi penghormatan
terhadap apa?” sang wanita bertanya.
Pria itu berpikir
sejenak. “Pada kehidupan yang telah mereka lalui?” tebaknya.
“Salah. Bagaimana
dengan mereka yang mencabut nyawa orang lain atau merampas keperawanan seorang
gadis? Pantaskah kehidupan mereka dihormati pula?”
“Aku menyerah,” kata
sang pria. Membawa dua cangkir kopi pada istrinya, meletakkannya di atas meja. Tersenyum lembut pada wanita yang selalu mampu memutar balikkan tiap kata-katanya. “Lagipula orang yang sudah mati tidak bisa jalan sendiri ke kuburan. Dia butuh
orang lain untuk mengangkatnya.”
Sang wanita mengangguk
pelan. Matanya kembali mengiringi langkah kerumun orang yang kian menjauh
tertelan kerimbunan pohon. “Kiramu, siapakah yang mati itu?”
“Mungkin salah seorang
warga desa.”
“Atau mungkin itu
Kartika, anak kita yang paling tua,” sang wanita mengusulkan. “Terakhir kali
aku bertemu dengannya, tubuhnya dipenuhi luka dari suaminya. Tak heran aku jika
akhirnya dia mati juga.”
Pria itu tertawa
pelan. “Kau sudah mulai pikun, Istriku. Kartika sudah lama bercerai dengan suaminya itu.
Sekarang dia punya tanah luas dan banyak pekerja yang membantunya. Dia sudah sejahtera, tidak mungkin itu dia.”
Wanita itu menyeruput
kopinya, meletakkan cangkir pada pangkuannya yang berlapis jarit tua. “Bisa
juga Razak yang mati. Anak bodoh itu. Jatuh cinta pada kakaknya sendiri, hilang pikir sampai
menjual diri pada pedagang kaya dari barat. Mungkin sekarang
dia sudah mati di tangan pria bule itu. Dipecut dan disiksa adalah hukuman yang bagus untuknya.”
“Hukuman seperti itu sudah tidak lagi diberlakukan, Sayang. Razak sudah kaya
sekarang. Rumahnya gedongan dua buah, diwarisi dari pedagang itu. Kondisinya
bahkan lebih bagus dari kakaknya.” Sang pria duduk di samping istrinya, ikut
memandangi hutan yang kian menyepi, isak tangis tak lagi terdengar.
“Atau mungkin Shamsul.
Terjebak oleh rasa berdosa dan kini menghabiskan waktu dengan menebusnya.
Bisa saja dia mati kelaparan karena terlalu banyak berdoa dan beribadat.”
Sang pria menepuk
pundak istrinya. “Dia sudah punya pesantren sekarang. Sudah dikenal. Muridnya
ribuan. Dianggap orang suci. Kurasa itu bukan dia.”
“Kalau bukan Kartika,
Razak ataupun Shamsul, sudah pasti si Yasmin,” kata sang wanita dengan nada
riang. “Anak itu tak pernah lepas dari masa kanak-kanaknya. Main dan main
kerjanya. Mungkin sekarang dia sudah menggelandang, atau mati kering tak kuat
tidur beralaskan langit.”
“Justru Yasmin lah
yang paling sukses diantara kakak-kakaknya. Rumahnya paling gedhe, di dekat
pantai. Sudah punya pekerjaan sendiri. Perusahaannya besar.”
Sang wanita
menghabiskan kopinya, menaruhnya ke meja. Beberapa orang sudah kembali dari
tanah perkuburan, mata mereka sembab oleh air mata. Seorang wanita berjalan di
depan, tudung hitam menyelimuti kepala, menutupi wajahnya. Di belakangnya, berjalan tiga
laki-laki menunduk. Beberapa orang mengikuti. Hujan turun rintik-rintik. Sang
wanita kembali bertanya, “Jadi, yang mati itu bukan anak kita?”
“Kartika masih
mengolah tanahnya. Razak masih membangun ulang rumahnya. Shamsul masih mengajar
murid-muridnya. Yasmin masih mengurus perusahaannya. Bukan, itu bukan mereka, Istriku.”
“Mereka sibuk?” sang
wanita bertanya, memandang suaminya dengan tatapan lembut. “Pantas saja tak
pernah pulang, kupikir sudah mati mereka itu.”
“Sri, Sri. Anak-anak
kita tak akan mati semudah itu.” Sang pria tersenyum, mengelus rambut istrinya.
“Mereka masih muda. Masih penuh semangat. Jalan hidup mereka masih panjang.
Beda dengan kita.”
“Benar juga.” Wanita
itu kembali memandang bayangannya pada kaca. Kulitnya sudah keriput, matanya
sudah sayu, rambutnya sudah uban semua. Bayangan kemudaan yang ada hilang.
“Akulah yang mati semudah itu.”
Pria itu menepuk
pundak istrinya, mengambil cangkir kopi yang dipangku, meletakkannya ke atas
meja. “Sudah. Aku sudah membuatkanmu secangkir kopi—syarat agar kau mau ikut
denganku. Tuhan sudah menunggu kita, jadi sebaiknya kita pergi.”
Wanita itu mengangguk,
menoleh sekali lagi pada wanita bertudung hitam dan tiga pria yang tampak
bermuram durja. “Kartika, Razak, Shamsul, dan Yasmin. Mereka pasti akan
baik-baik saja tanpa aku, bukan?”
Suaminya tersenyum.
“Kau tak perlu risaukan mereka. Mereka kuat. Hidup yang panjang masih akan
mereka jalani. Kita lemah. Kuasa Tuhan menarik kita dari peredaran dunia.”
Diraihnya tangan istrinya. “Ayo pergi, Sri.”
“Ya, Jaya,” jawabnya.
“Andai saja anak-anak kita lebih sering mengunjungiku setelah kepergianmu ....”
"Tak ada gunanya menyesalinya sekarang. Orang yang sudah mati tidak perlu menyesali apapun, merekalah yang masih hidup yang akan menyesalinya, Sri." Pria itu menggandeng tangan sang wanita, matanya memandang pada tiga sosok yang mendekat ke rumah mereka. "Merekalah yang menyesal tak pernah lagi menjengukmu."
Istrinya mengangguk pelan. "Sudahlah, ayo pergi, Jaya."
Dan sosok dalam
ruangan itu menghilang, dalam balutan debu kehidupan dan rasa penyesalan dari
mereka yang ditinggalkan, menyisakan kekosongan yang sunyi saat pintu dibuka dan empat orang masuk ke dalamnya.
Sepasang mata hitam sembab dengan bulu mata panjang memandang cangkir kopi yang kosong di atas meja, bibir pucatnya bergumam singkat, "Ibu?"
2 komentar:
keren banget ka..berjuta2 jempol buat kakak
Makasih ^^
Posting Komentar