Pages

Jumat, 09 Januari 2015

KERANDA

KERANDA

Oleh: Geesha Andika

     Wanita itu duduk di depan jendela, memandangi pohon-pohon yang tumbuh tak beraturan di depan rumahnya. Bayangannya sedikit terpantul pada kaca gelap. Kulitnya masih halus, sehalus saat dia masih gadis perawan. Matanya masih tajam, setajam saat dia memilih gerabah di pelabuhan dulu. Dan rambutnya masih hitam, sehitam saat dia berjumpa untuk pertama kalinya dengan sang suami.
Suara langkah kaki memasuki telinganya, berbarengan dengan lirih isakan. Sekerumun orang berpakaian serba hitam berjalan. Di barisan depan, beberapa orang pria memandu sebuah keranda dengan pelapis kain hijau.


     “Ada keranda,” sang wanita berkata.

     Suaminya yang tengah menyeduh kopi di dapur menyahut, “Ada yang mati.”

     “Sungguh menyedihkan. Mereka baru merasakan yang namanya ditandu saat nyawa sudah lepas dari badan. Benar-benar menyedihkan.”

     “Ini sudah bukan zaman kerajaan, tak ada lagi orang yang sudi menandu orang lain, raja sekalipun—kecuali mereka yang sudah mati. Anggap saja itu penghormatan terakhir.”

     “Tapi penghormatan terhadap apa?” sang wanita bertanya.

     Pria itu berpikir sejenak. “Pada kehidupan yang telah mereka lalui?” tebaknya.

     “Salah. Bagaimana dengan mereka yang mencabut nyawa orang lain atau merampas keperawanan seorang gadis? Pantaskah kehidupan mereka dihormati pula?”

     “Aku menyerah,” kata sang pria. Membawa dua cangkir kopi pada istrinya, meletakkannya di atas meja. Tersenyum lembut pada wanita yang selalu mampu memutar balikkan tiap kata-katanya. “Lagipula orang yang sudah mati tidak bisa jalan sendiri ke kuburan. Dia butuh orang lain untuk mengangkatnya.”

     Sang wanita mengangguk pelan. Matanya kembali mengiringi langkah kerumun orang yang kian menjauh tertelan kerimbunan pohon. “Kiramu, siapakah yang mati itu?”

     “Mungkin salah seorang warga desa.”

     “Atau mungkin itu Kartika, anak kita yang paling tua,” sang wanita mengusulkan. “Terakhir kali aku bertemu dengannya, tubuhnya dipenuhi luka dari suaminya. Tak heran aku jika akhirnya dia mati juga.”

     Pria itu tertawa pelan. “Kau sudah mulai pikun, Istriku. Kartika sudah lama bercerai dengan suaminya itu. Sekarang dia punya tanah luas dan banyak pekerja yang membantunya. Dia sudah sejahtera, tidak mungkin itu dia.”

     Wanita itu menyeruput kopinya, meletakkan cangkir pada pangkuannya yang berlapis jarit tua. “Bisa juga Razak yang mati. Anak bodoh itu. Jatuh cinta pada kakaknya sendiri, hilang pikir sampai menjual diri pada pedagang kaya dari barat. Mungkin sekarang dia sudah mati di tangan pria bule itu. Dipecut dan disiksa adalah hukuman yang bagus untuknya.”

     “Hukuman seperti itu sudah tidak lagi diberlakukan, Sayang. Razak sudah kaya sekarang. Rumahnya gedongan dua buah, diwarisi dari pedagang itu. Kondisinya bahkan lebih bagus dari kakaknya.” Sang pria duduk di samping istrinya, ikut memandangi hutan yang kian menyepi, isak tangis tak lagi terdengar.

     “Atau mungkin Shamsul. Terjebak oleh rasa berdosa dan kini menghabiskan waktu dengan menebusnya. Bisa saja dia mati kelaparan karena terlalu banyak berdoa dan beribadat.”

     Sang pria menepuk pundak istrinya. “Dia sudah punya pesantren sekarang. Sudah dikenal. Muridnya ribuan. Dianggap orang suci. Kurasa itu bukan dia.”

     “Kalau bukan Kartika, Razak ataupun Shamsul, sudah pasti si Yasmin,” kata sang wanita dengan nada riang. “Anak itu tak pernah lepas dari masa kanak-kanaknya. Main dan main kerjanya. Mungkin sekarang dia sudah menggelandang, atau mati kering tak kuat tidur beralaskan langit.”

     “Justru Yasmin lah yang paling sukses diantara kakak-kakaknya. Rumahnya paling gedhe, di dekat pantai. Sudah punya pekerjaan sendiri. Perusahaannya besar.”

     Sang wanita menghabiskan kopinya, menaruhnya ke meja. Beberapa orang sudah kembali dari tanah perkuburan, mata mereka sembab oleh air mata. Seorang wanita berjalan di depan, tudung hitam menyelimuti kepala, menutupi wajahnya. Di belakangnya, berjalan tiga laki-laki menunduk. Beberapa orang mengikuti. Hujan turun rintik-rintik. Sang wanita kembali bertanya, “Jadi, yang mati itu bukan anak kita?”

     “Kartika masih mengolah tanahnya. Razak masih membangun ulang rumahnya. Shamsul masih mengajar murid-muridnya. Yasmin masih mengurus perusahaannya. Bukan, itu bukan mereka, Istriku.”

     “Mereka sibuk?” sang wanita bertanya, memandang suaminya dengan tatapan lembut. “Pantas saja tak pernah pulang, kupikir sudah mati mereka itu.”

     “Sri, Sri. Anak-anak kita tak akan mati semudah itu.” Sang pria tersenyum, mengelus rambut istrinya. “Mereka masih muda. Masih penuh semangat. Jalan hidup mereka masih panjang. Beda dengan kita.”

     “Benar juga.” Wanita itu kembali memandang bayangannya pada kaca. Kulitnya sudah keriput, matanya sudah sayu, rambutnya sudah uban semua. Bayangan kemudaan yang ada hilang. “Akulah yang mati semudah itu.”

     Pria itu menepuk pundak istrinya, mengambil cangkir kopi yang dipangku, meletakkannya ke atas meja. “Sudah. Aku sudah membuatkanmu secangkir kopi—syarat agar kau mau ikut denganku. Tuhan sudah menunggu kita, jadi sebaiknya kita pergi.”

     Wanita itu mengangguk, menoleh sekali lagi pada wanita bertudung hitam dan tiga pria yang tampak bermuram durja. “Kartika, Razak, Shamsul, dan Yasmin. Mereka pasti akan baik-baik saja tanpa aku, bukan?”

     Suaminya tersenyum. “Kau tak perlu risaukan mereka. Mereka kuat. Hidup yang panjang masih akan mereka jalani. Kita lemah. Kuasa Tuhan menarik kita dari peredaran dunia.” Diraihnya tangan istrinya. “Ayo pergi, Sri.”

     “Ya, Jaya,” jawabnya. “Andai saja anak-anak kita lebih sering mengunjungiku setelah kepergianmu ....”

     "Tak ada gunanya menyesalinya sekarang. Orang yang sudah mati tidak perlu menyesali apapun, merekalah yang masih hidup yang akan menyesalinya, Sri." Pria itu menggandeng tangan sang wanita, matanya memandang pada tiga sosok yang mendekat ke rumah mereka. "Merekalah yang  menyesal tak pernah lagi menjengukmu."

     Istrinya mengangguk pelan. "Sudahlah, ayo pergi, Jaya."


     Dan sosok dalam ruangan itu menghilang, dalam balutan debu kehidupan dan rasa penyesalan dari mereka yang ditinggalkan, menyisakan kekosongan yang sunyi saat pintu dibuka dan empat orang masuk ke dalamnya. 
     Sepasang mata hitam sembab dengan bulu mata panjang memandang cangkir kopi yang kosong di atas meja, bibir pucatnya bergumam singkat, "Ibu?"

2 komentar:

Unknown mengatakan...

keren banget ka..berjuta2 jempol buat kakak

Geesha Ganita Andika mengatakan...

Makasih ^^

Posting Komentar