Tadir itu mengikatmu denganku, sekeras apapun kau berusaha
melepaskannya. Aku akan tetap berusaha menggapaimu dan menjadikanmu milikku.
…*…
Finding a Soulmate, a Shingeki no Kyojin FanFiction
By: Hime Hoshina
An unofficial side story written by Silan Haye.
Shingeki no Kyojin belong to Isayama Hajime.
Genre: Romance/ Hurt/Comfort
Pair: Annie Leonhardt x Mikasa Ackerman
Warning: OOC, GL, Typo (s) DLDR ^_^
…*…
Aku menguasai cintanya yang polos dan murni. Memuja sosok kaburnya dalam
kecupan dan bisikan lembut yang kuyakin sampai padanya dalam mimpi. Menorehkan
namaku bagai tato yang tak dapat dihapus dalam telapak tangannya, sebagai
pengingat jika suatu saat nanti aku akan memilikinya.
Hal yang sama dengan yang ia lakukan kepadaku.
Tatapan mata malamnya yang tajam seolah menghipnotisku dalam mimpi,
membuatku selalu merindu dalam kesepian-kesepian yang menikam dadaku. Pelukan
lembut dan halus surainya menyebabkan diriku terus berharap agar dapat berjumpa
dengannya.
Sejak pertama kali aku menyadari arti dari mimpi-mimpi tentang dirinya,
aku terus memendam asa untuk menatap matanya secara langsung, mengagumi
keindahan yang terpancar tatkala syarat pertama terpenuhi. Akan kugenggam
tangan kanannya lembut, menggesekkan nama kami yang terukir di sana, meyakinkan
diriku bahwa ia memang adalah sosok yang akan berbagi jiwanya denganku. Dan
yang terakhir, aku akan mengecup bibirnya, mengikatnya dalam janji untuk terus
mendampingiku hingga maut memisahkan kami.
Dan semuanya terasa hancur berantakan. Hancur remuk tak berbentuk hingga
hanya menyisakan debu-debu kepedihan saat suara yang biasa mencumbuku dalam
mimpi berkata—
“Aku tak mau nama Annie! Aku mau
nama Eren di tanganku!”
…*…
Setiap orang memiliki nama yang terukir di telapak tangan kanannya. Nama
itulah yang merupakan nama jodoh masa depan mereka, orang yang telah
ditakdirkan untuk mencintai mereka dengan segenap jiwa dan raga.
Namun, jika hanya nama kau akan sulit untuk menemukan separuh jiwamu.
Maka dari itulah Tuhan memberikan sebuah penampakan dalam mimpi sebagai petunjuk
untuk menemukan dirinya.
Bisikan-bisikan lembut dan sentuhan-sentuhan manis yang kau rasakan
dalam tiap tidurmu adalah bagian dari dirinya. Kilasan-kilasan samar berupa
janji semu jika ia akan membawamu ke dalam dekapan sang pemilik nama.
Tapi ada kalanya sepasang kekasih yang telah digariskan untuk saling
mencintai tak dapat berjumpa. Tangan takdir telah memutuskan jalinan benang
merah yang mengikat kelingking keduanya. Alasannya bisa bermacam-macam,
kematian, ketakutan untuk memiliki, keinginan untuk tetap hidup mandiri dan
lain-lain. Namun apapun alasannya, mereka yang tak dapat berjumpa tetaplah
sama. Dan mereka disebut sebagai…
…Tersesat.
Sebelumnya aku selalu berfikir jika menjadi seorang Tersesat adalah hal
paling buruk yang dapat dijumpai oleh seseorang. Tetapi kata-kata Mikasa telah
mengubahku, tanpa sadar aku mulai berharap untuk menjadi bagian dari
orang-orang Tersesat.
Bahkan terkadang sebuah pikiran gila datang menghampiriku. Mungkin
kematian adalah hal yang jauh lebih baik dibandingkan dengan cinta yang tidak
diharapkan.
Mungkin.
…*…
Mata dan surai hitamnya yang menggodaku dalam keheningan mimpi terkadang
terus kucari dalam dunia nyata, sekalipun aku tak pernah berharap untuk bertemu
dengannya lagi.
Saat aku mengatakan niatku untuk tak ingin bertemu dengan sang malaikat
bersurai malam itu, hanya sebuah tawa lembut dari Ibu sajalah yang menyahutnya.
“Mengapa kau tak ingin bertemu
dengannya, Annie? Bukankah seharusnya kau merindukan masa di mana kau dapat
berjumpa dengannya dan memeluknya erat, seperti dalam mimpi-mimpimu?”
Aku hanya mampu terdiam. Mulutku terasa kelu untuk menjawabnya. Kubuang
pandanganku ke lantai sembari menggumam pelan, “Aku sudah bertemu dengannya,
Ibu.”
“Lalu, mengapa kau tampak sedih? Bukankah seharusnya kau bahagia karena
telah menemukan separuh belahan jiwamu?” wanita yang telah melahirkanku ke
dunia itu berkata sembari membelai rambutku pelan.
Tatapan mata lembut itu membuatku luluh. Dengan sebuah helaan napas
panjang aku menggenggam erat tanganku, mencengkram nama Mikasa yang tercetak abadi
di sana, meyakinkan diriku untuk menceritakan kegelisahanku padanya. “Dia tak
menginginkanku, Ibu. Dia berkata jika ia tak ingin namaku yang tercetak di
tangannya. Dia berkata jika dia menginginkan nama orang lainlah yang ada di
tangannya.”
Senyum anggun Ibu segera luntur mendengar kata-kataku. Matanya yang
lembut tampak terluka. “Benarkah begitu, Annie?”
Aku kembali terdiam. Kurasakan air mata mendesak di kantung mataku.
“Ya…”
…*…
Dulu, saat kabar itu datang kepadaku, aku hanya mampu merutuk saja.
Menyesali kepindahan keluargaku ke Jerman untuk mengurus harta warisan Kakek
yang jatuh ke tangan Mama.
Aku kesal. Aku marah. Aku berfikir bagaimana aku bisa menemukan kekasih
hatiku yang selalu terbalut dengan syal berwarna merah darah itu jika harus
meninggalkan Rusia. Memangnya di mana lagikah seseorang akan selalu setia
mengenakan syal selain di Rusia yang memiliki hawa beku sepanjang tahun?
“Kau tak perlu khawatir, Annie. Jika
memang Mikasa adalah jodohmu, maka kau pasti akan bertemu dengannya di suatu
tempat nanti,” Ayah
berkata demi menenangkan kegelisahanku ketika pesawat yang kutumpangi lepas
landas.
Saat itu aku hanya mendengus, menyepelekan kata-kata pria yang telah
menyumbangkan separuh gennya padaku. Usiaku telah menginjak sepuluh tahun,
hanya tiga tahun saja waktu yang tersisa bagiku untuk menemukan Mikasa. Kecuali
jika aku adalah Tersesat.
Mulas perutku tiap kali membayangkan jika Mikasa yang sosoknya telah
kupuja-puja ternyata telah pergi meninggalkanku. Membawa setengah jiwaku
bersamanya, meninggalkan diriku sebagai sesosok wanita dingin yang telah
kehilangan hatinya dan hanya mampu melayangkan pandangan iri pada mereka yang
saling bergenggaman tangan dengan belahan jiwa mereka.
Namun kekhawatiran itu menghilang saat sudut mataku menangkap sosok yang
selama ini menjajah mimpi-mimpiku. Seminggu setelah kedatanganku ke Jerman,
tatkala atas dasar kebosanan aku memutuskan untuk melangkahkan kakiku menuju
keramaian, tanpa sengaja aku melihatnya. Berjalan bergandengan tangan bersama
seorang anak laki-laki sembari makan es krim.
Aku terpesona. Mata dan surainya sehitam arang, kulitnya seputih salju
dan bibirnya semerah darah, tubuhnya terbalut gaun putih panjang dengan syal
merah melilit lehernya. Oh Tuhan, katakan padaku, adakah sosok lain yang mampu
tampil lebih indah dibandingkan dirinya?
Saat kakiku hendak melangkah mendekatinya, untuk mempertemukan mata-mata
kami yang selama ini kesepian, kata-kata itu datang menerpa telingaku.
“Mikasa, es krimmu meleleh!”
“Aku tahu, Eren.”
“Ah, lelehannya menetes ke sarung
tanganmu!”
“Aku tahu.”
“Jangan jilati sarung tanganmu,
Mikasa! Kata Ibu itu kotor! Lepaskan saja!”
“Tidak akan.”
“Mengapa? Bukankah sekarang adalah
musim semi? Udara sudah tak sedingin sebulan lalu kan?”
“Bukan udaranya. Hanya saja…aku tak
mau ada yang melihat nama Annie di tanganku.”
“Mengapa begitu? Aku justru senang
kalau ada yang melihat nama Jean.”
“Ukh, bukankah aku sudah bilang? Aku
tak mau nama Annie! Aku mau nama Eren di tanganku!”
Dan apalagi yang dapat kulakukan selain menghentikan langkahku dan
menatapnya berlalu begitu saja. Dan begitu aku sadar, kurasakan pipiku sudah
basah oleh air. Air mataku sendiri.
Aku terdiam. Sekeras apapun latihan beladiri yang diberikan oleh Ayah
ataupun penggencetan yang kualami di sekolah lamaku, aku tak pernah menangis.
Aku selalu yakin kalau aku mampu mengatasinya. Selama ini aku selalu berfikir
jika mereka yang menangis hanyalah orang-orang lemah yang tak memiliki kemauan.
Dan sekarang, segala prinsip yang kupegang balik menyerangku.
Aku menangis, menangis tanpa henti, biarlah saja wajahku yang beku ini
mencair dan berubah buruk rupa.
Mungkin prinsipku memang benar.
Aku mungkin memang hanyalah gadis yang lemah dan tak memiliki kemauan.
Satu kalimat saja sudah mampu untuk membuatku terpuruk seperti ini.
“Aku tak mau nama Annie! Aku mau
nama Eren di tanganku!”
“Aku tak mau nama Annie!”
“Aku tak mau…”
“…tak mau…”
Kalimat itu terus berulang di otakku, bagaikan mantra. Membuatku kian
jatuh ke dalam jurang keterpurukan yang tak mampu kulihat dasarnya.
Aku bukan orang dewasa. Bukan pula gadis yang tak memiliki perasaan. Aku
hanyalah aku. Seorang gadis mungil berusia sepuluh tahun yang kehilangan
ketegarannya.
…*…
Tiga bulan telah berlalu.
Aku mulai meninggalkan ide untuk bunuh diri atau semacamnya.
Aku sadar, meskipun keberadaanku tak diinginkan olehnya, aku masih harus
tetap bertahan hidup. Ayah dan Ibu masih membutuhkanku. Baik sebagai bukti
cinta ataupun penerus mereka. Lagipula aku yakin jika aku mampu untuk melupakan
Mikasa. Persetan dengan bisikan-bisikan lembutnya yang memanggil namaku di alam
mimpi! Aku pasti mampu melupakannya! Pasti!
“Annie? Kau mau pergi ke mana?” pertanyaan singkat bernada khawatir dari
Ibu menyertai langkahku menuju keluar rumah. Sejak kejadian depresinya aku
akibat penolakan tidak langsung dari Mikasa, Ayah dan Ibu selalu saja bertindak
paranoid. Mereka bahkan memaksaku untuk home
schooling dan tak membiarkanku untuk pergi keluar rumah sendirian.
“Membeli buku,” jawabku singkat.
Wajah Ibu sedikit mengeras. “Tunggu sebentar, Ibu akan mengantarmu.”
“Aku bukan bayi lagi. Aku bisa melakukannya sendiri,” tukasku kesal sembari
membanting pintu di belakangku dan berjalan cepat, mengacuhkan panggilan Ibu
yang memintaku untuk kembali.
Aku tak sudi dikasihani. Bahkan oleh orang tuaku sekalipun. Mereka tak
bisa memperlakukanku seperti bayi besar hanya karena aku telah kehilangan
belahan jiwaku! Seolah aku akan hancur berantakan jika misalkan tanpa sengaja
aku bertemu dengannya lagi.
Kucepatkan langkahku untuk mewanti-wanti andai kata Ibu berkeras
mengejarku. Beberapa gang sempitpun dengan ikhlas aku lewati demi menghapus
jejak. Sialnya aku mendapati diriku tak menemukan ujung dari gang sempit yang
kulalui. Kakiku justru membawa tubuhku semakin jauh memasuki lorong-lorong
gelap yang seolah tak berujung, seperti labirin.
Akan tetapi, meski jalan yang kulalui semakin tak familier di benakku,
aku merasa semakin aman. Tak ada rasa cemas ataupun gelisah, ketenangan luar
biasa yang ganjil seolah memerangkapku untuk terus menyusuri jalanan kotor yang
minim akan cahaya.
Saat itulah dua orang gadis yang tampak terburu-buru melintas di sampingku.
“Tu…tunggu!” gadis bertubuh mungil yang berlari di belakang berteriak.
Perpaduan ekspresi takut, cemas dan lelah tampak tercetak deras di wajahnya.
“A…apa tak apa-apa jika kita membiarkannya sendirian?”
Gadis yang dipanggil menghentikan larinya dan berbalik. Ditatapnya sang
rekan dengan wajah yang tampak terlalu pucat. “Di-dia pasti akan baik-baik
saja. Dia gadis yang kuat, kau sendiri pasti tahu bukan?”
“Tapi yang dia hadapi bukan hanya satu atau dua anak saja!” si pirang
masih tetap menjerit ketakutan. “Mereka anak-anak berandalan dari kelas
tertinggi. Bahkan kepala sekolahpun sudah mengatakan kalau dia angkat tangan
perihal kenakalan mereka kan?”
Aku mendengus kecil. Ternyata hanya masalah penggencetan saja!
Bukan urusanku.
Kupaksa kakiku untuk meneruskan langkah menuju toko buku yang entah di
mana letaknya, hanya saja hatiku berkata lain. Ia memaksaku untuk memelenkan
langkahku, seolah pembicaraan dua gadis yang kutebak berusia sekitar dua tahun
di bawahku itu akan mempengaruhi hidupku.
Aku tertawa sinis. Menggelikan. Benar-benar pikiran yang bodoh.
“Ta…tapi… Mikasa hanya sendirian!”
Aku menghentikan langkahku. Dengan cepat aku berbalik dan menghampiri
dua gadis kecil itu. Dalam hati aku merutuk kesal. Mengapa meski otakku telah
menjeritkan perintah untuk meninggalkan mereka dan mengingatkanku jika Mikasa
bukan lagi siapa-siapaku, melainkan hanya seorang asing yang tak kukenal,
kakiku tetap memaksa tubuhku untuk berputar dan membuat tanganku mencengkram
pundak si gadis yang berdiri di belakang?
“Katakan di mana itu!”
…*…
Aku tak pernah mengeluh ataupun menyukai latihan beladiri yang diberikan
oleh Ayah. Bagiku itu semua hanyalah salah satu bentuk pelatihan bagiku untuk
menjalankan keluarga di masa depan. Tak pernah terpikir olehku jika aku akan menggunakannya.
Aku bahkan menahan diri untuk menghajar anak-anak yang menjahiliku di Rusia
dulu.
Namun sekarang berbeda. Demi segala Dewa dan Tuhan yang pernah dipuja
oleh manusia, aku bersumpah akan bersujud di hadapan Ayah sembari mengucapkan
terima kasih padanya jika nanti aku pulang.
Karena, jika bukan berkat dirinyalah maka kini aku tak akan berdiri di
hadapan seorang anak lelaki seusiaku sembari memuntir lengannya tanpa ampun dan
menyiapkan kepalan tanganku untuk menghantam dagunya, sementara enam anak
lainnya terkapar di belakangku.
BUAK!
Kurasakan tanganku yang terbalut sarung tangan dibanjiri oleh darah yang
hangat dan menjijikkan. Kudorong tubuh makhluk lemah itu ke dinding dan kutatap
tajam matanya. “Aku tak akan segan-segan lagi jika kau sampai berani melukai
anak itu lagi,” desisku sembari menunjuk gadis bersurai hitam berantakan yang
terkapar di sudut gang dengan mataku. “Akan kupastikan kau akan hangus dalam
api neraka jika itu sampai terjadi.”
Anak laki-laki itu tampak masih tak terima melihat dirinya dikalahkan
oleh seorang gadis yang bahkan berat tubuhnya tak sampai setengah berat
tubuhnya. Kulihat gestur mengepal tangannya, tanda bahwa ia siap melayangkan
tinjunya padaku.
“Amatiran,” lirihku.
Kutendang kakinya hingga tubuh tambun berisi lemak menjijikkan itu jatuh
ke samping akibat kehilangan keseimbangan. Kutendang perutnya tanpa peduli
dengan yang namanya peri kemanusiaan. Makhluk di hadapanku memang tak pantas
mendapatkannya. Aku bahkan meragukan statusnya sebagai seorang manusia.
Dapat kutangkap bayangan wajahku di matanya, wajah dingin tanpa ekspresi
yang tampak bosan. Dan aku tahu, ia takut kepada sosokku itu.
“Menyingkir dari hadapanku sekarang juga. Tak sudi aku melihat muka
busukmu lagi,” desisku tajam, dapat kudengar nada kebencian yang tersurat jelas
di dalamnya. “Dan,” aku menunjuk malas lima anak laki-laki yang sudah lebih
dulu kulumpuhkan. “Jangan lupa bawa sampah-sampahmu itu.”
Beruntunglah si tambun itu tak lagi berusaha melawanku. Dalam beberapa
menit saja sampah-sampah di sekitarku sudah lenyap.
Hanya satu masalah yang tersisa.
Aku melirik sosok gadis yang masih terduduk di ujung gang sambil
mencengkram lengan kanannya yang berdarah. Tak berani aku menatap matanya,
takut jika syarat pertama untuk mengikat kami akan terpenuhi.
Kucoba untuk melangkahkan kakiku dan pergi meninggalkannya. Tapi seperti
sebelum-sebelumnya, aku selalu tak sanggup untuk melakukannya. Apalagi saat
erangan sakit lirih itu menyapa gendang telingaku.
Sebuah helaan nafas tak kuasa untuk kutahan. “Apa boleh buat,” gumamku
pelan.
Kudekati gadis yang tak lain dan tak bukan adalah Mikasa, dan berdiri di
hadapannya sembari memperhatikan luka yang ada di tubuhnya. Hanya beberapa
memar, luka di bagian siku dan sudut bibir yang pecah. Bukan luka terbanyak
yang mampu ditanggung seorang gadis keras kepala yang bersikukuh menghadapi
sekelompok preman kecil sendirian.
“Kau baik-baik saja?”
Jangankan merespon, Mikasa bahkan semakin menenggelamkan kepalanya, tak
sudi menatapku.
“Kuanggap itu sebagai ‘ya’.” Aku kembali melangkahkan kakiku
meninggalkannya.
“Da…danke.”
Ucapan—atau mungkin lebih cocok kusebut gumaman—terima kasih lirih itu
terdengar bersamaan dengan genggaman lemah di ujung kaus yang kukenakan. Aku
menolehkan kepalaku hanya untuk mendapati sepasang netra bak lubang hitam
menatapku datar. Kegelapan yang memenjarakanku tiap malamnya, kegelapan di mana
aku rela menyerahkan tiap kebahagiaanku hanya untuk meraihnya.
Syarat pertama terpenuhi.
Kurasakan tangan berbalut sarung tangan putih itu terjulur, meraih tanganku
yang sama-sama terbalut sarung tangan meski suhu mulai merangkak mendekati digit
39 derajat.
Perlahan namun pasti, tangan itu membuka sarung tangan yang kukenakan,
hingga akhirnya nama bak pembuluh darah yang terukir abadi di sana memamerkan
sosoknya yang berusaha kulupakan tiga bulan terakhir.
Mikasa.
“Annie,” suara lembut itu mengucap namaku. Kurasakan desiran aneh
menjalar ke tubuhku tatkala mimpi-mimpiku tiap malam menjadi nyata. Tanpa
diminta, ia melepas sarung tangannya sendiri dan menunjukkan padaku nama yang
tertoreh di sana, namaku. “Mikasa,” ia menyebutkan namanya sendiri.
Aku mengangguk pelan. “Aku tahu.”
Kusentuh jari-jemarinya perlahan dan kupertemukan nama kami berdua dalam
sebuah gesekan lembut.
Syarat kedua terpenuhi.
Entah sadar atau tidak, jari-jemari kami kini telah bertaut semakin
erat. Kugenggam tangannya selembut mungkin, tak ingin melepaskannya lagi.
Kubawa punggung tangannya mendekat ke wajahku dan kuberikan sebuah ciuman
lembut di sana.
Ah, akhirnya aku tahu mengapa Ayah gemar sekali mencium tangan Ibu.
Kami kembali bertatapan. Tak ada senyum. Tak ada rona. Yang ada hanya
dua wajah minim ekspresi yang saling pandang.
Bagi orang lain, mungkin kami tampak bagaikan sepasang gadis yang siap
mengadu kekuatan. Tetapi bagiku, tatapan dingin itu, wajah yang tampak keras
dan tak berperasaan itu dan sikap tubuhnya yang entah bagaimana terasa terlalu
patuh membuat hatiku kian terjerat.
Aku tak tahu apakah ia merasakan hal yang sama denganku ataukah tidak.
Meskipun begitu, dalam beberapa detik setelahnya, aku mendapati tak ada lagi
jarak di antara wajah kami.
Syarat ketiga terpenuhi.
Aku telah mendapatkan separuh jiwaku.
Kami menjauh, saling pandang dengan tatapan yang tak terdefiniskan lagi
artinya. Sebuah dengusan mengejek aku lontarkan. “Bukankah kau tak
menginginkanku?”
“Memang,” jawabnya cepat. “Aku tak mencintaimu.”
“Lalu mengapa kau membuat janji untuk mendampingiku hingga mati seperti
ini?”
Dia terdiam. Wajah moleknya ia palingkan ke arah tembok bata yang tak
menarik perhatian demi menyembunyikan rona yang sedikit terselip di sana.
“Bukan aku yang menginginkannya. Takdirlah yang melakukannya.”
Dengan ujung jari aku mengangkat dagunya, membuatnya mau tak mau harus
menatap wajahku. “Benarkah?”
Kembali kuberikan sebuah kecupan kecil di bibirnya.
Rona itu tampak sedikit lebih jelas sekarang. Ia menatap mataku dengan
tatapan kesal sekaligus… jujur, aku tak tahu apakah siratan emosi yang tampak
itu. Jika boleh, izinkan aku untuk mengartikannya sebagai cinta.
Ia membuka mulutnya…
“Ich hasse dich.”
…*…
“Kau yakin tak akan kembali ke Jerman, Eren?” jeda beberapa detik.
“Baiklah jika itu keputusanmu, aku akan menyampaikannya pada Ibu. Jaga dirimu
baik-baik. Makan yang teratur dan…,” jeda yang sedikit lebih panjang kembali
terdengar. “Aku tak bermaksud memperlakukanmu seperti bayi, aku hanya khawatir…
baiklah, akan kukatakan pada Ibu jika kau menelpon hari ini. Bye.”
Akhirnya dia mematikan teleponnya.
Aku memutar mata bosan sembari mengembalikan majalah yang pura-pura
kubaca ke atas meja. “Dari Eren?” aku tetap bertanya meski sudah tahu bahwa ia
akan mengangguk membenarkan. “Hm, bagaimana kabarnya? Apa ia sudah berhasil
menemukan—ukh, siapa ya namanya?—Jean-nya itu?”
Mikasa menggeleng pelan. “Dia gagal.”
“Aku turut berduka cita,” setengah hati aku berkata. Jujur saja,
sesungguhnya aku kurang suka pada si Jeager itu, meskipun ia adalah kakak
angkat Mikasa. Aku kesal tiap kali Mikasa tersenyum atau menampilkan ekspresi
khawatir, yang tak pernah ia tunjukkan padaku, ketika bersamanya.
“Tak ada yang perlu kau dukai. Tampaknya ia telah menemukan sosok lain
yang akan menggantikan Jean.”
Aku tak menyahut. Tanpa dimintapun Mikasa pasti akan dengan senang hati
membeberkan apa saja yang dikabarkan oleh Eren.
“Namanya Levi, seorang Tersesat yang berprofesi sebagai pemain
biola—yang menurut Eren—jenius. Mereka tanpa sengaja ia temui di taman beberapa
bulan lalu. Sekarang ia memutuskan untuk melupakan Jean dan membagi jiwanya
dengan pria itu.”
“Oh,” aku menjawab singkat.
Keheningan kembali mengisi udara di sekitar kami.
Mikasa menghempaskan tubuhnya di sampingku dan mulai menggerutu pelan
mengenai hubungan Eren dengan kekasihnya di Prancis. “Aku tak yakin jika
Levi—siapapun dia—adalah orang yang pantas untuk mendampingi Eren. Bagaimanapun
juga mereka baru beberapa bulan bertemu dan mereka juga bukan pasangan yang
diikat oleh takdir. Bagaimana jika Eren hanya dipermainkan olehnya? Jika
sebenarnya Levi sama sekali tak mencintainya.”
“Memangnya suatu hubungan harus dilandasi oleh cinta?”
Mikasa menoleh kepadaku dengan tatapan tajamnya. “Tentu saja.”
Giliranku mengembangkan senyum sombong kebanggaanku. “Benarkah?” Aku
mendekatkan wajahku kepadanya. “Bukankah kita sudah menjalani hubungan ini
selama sebelas tahun, dan tak sekalipun pernah ada kata cinta yang terucap di
antara kita?”
Mikasa menelan ludah menyadari jika ia sudah masuk dalam perangkapku.
“Atau kau mau mengakui saja jika kau memang mencintaiku?”
Sebuah ciuman panjang kuberikan kepadanya. Ia tak melawan, seperti
biasanya, dan membiarkanku menjajah rongga mulutnya. Bukan kecupan yang lembut
dan penuh kasih, namun bukan pula kecupan kasar yang hanya berdasarkan nafsu
semata.
Aku menjauh darinya dan menatap mata yang meskipun telah jutaan kali
kutatap, tapi selalu mampu menjeratku dalam kegelapan pesonanya. Kilatan
perasaan itu kembali terlihat.
“Jadi?” tanyaku dengan nada sombong.
Ia mendengus pelan. “Ternyata aku memang membencimu.”
Namun kau tak menolak saat aku melingkarkan tanganku di pinggangmu dan
menarikmu mendekat. Kubenamkan wajahku di surai hitammu, aroma rempah yang kau
gunakan sebagai sampo terasa memasuki indra penciumanku.
“Da, ya nenavizhu tebya tozhe.”
…*…
Aku tak pernah menyangkal jika rasa ini memanglah cinta. Dan aku juga
tak pernah mengingkari jika cinta ini adalah takdir yang semestinya terjadi.
Bisa jadi apa yang kita rasakan ini memang hanyalah sebuah ilusi atau bahkan
berupa mimpi.
Akan tetapi, aku tak sebegitu munafiknya untuk mengakui jika aku selalu
terpesona tiap kali memandang matanya yang menyimpan seluruh cahaya bulan.
Memujanya tiap kali sosok anggunnya berjalan memasuki ruang pengelihatanku.
Aku tak peduli apakah ini takdir ataupun bukan. Jika misalkan di
tanganku bukan namanyalah yang tercetak, aku berani bertaruh jika aku akan
tetap menaruh hati kepadanya.
Pada sosok sang ratu.
Sang ratu yang telah berhasil menjajah hatiku.
Aku terlalu keras kepala untuk megatakannya padamu, Mikasa. Salah satu
sifat yang aku tahu seharusnya kuubah sejak lama. Namun yakinlah.
Ya tebya lyublyu.
Dan jika nanti aku telah memiliki keberanian untuk mengatakannya, maka
tolong jawablah juga dengan kalimat.
“Ich liebe dich auch.”
…END…
Danke: Terima kasih (Jerman)
Ich hasse dich: Aku membencimu (Jerman)
Da, ya nenavizhu tebya tozhe: Ya, aku
juga membencimu (Rusia)
Ya tebya lyublyu: Aku
mencintaimu (Rusia)
Ich liebe dich auch: Aku juga mencintaimu (Jerman)
Halo, aku kembali datang
membawakan cerita yang… penuh dengan deskripsi. Baru sadar sekarang kalau
ceritanya 90% deskripsi #ukh.
Makasih untuk Kak
Silan yang sudah mengizinkan fanbook-nya aku acak-acak dengan side story yang
amburadul ini.
Dan untuk Dinar,
tantangan menulis GL-mu sudah aku selesaikan. Aku tunggu karya BL-nya ya!
#plak.
Terima kasih sudah mau
membaca ya ^_^ (kalau ada).
6 komentar:
loving it! loving it as always. emang ya Mikasa itu buakakakak lagi romantis2nya tiba2 bilang aku membencimu :3 keep writing ya kak Gee! akan selalu kutunggu ;)
Asha: Soalnya kayaknya sulit si Mikasa bilang 'aku mencintaimu' selain ke Eren DX
Tapi bahasa Jerman sama Rusianya salah nggak ya? Aku cuma pakai 'seingatnya' waktu masukin dialog itu :/
Hei, Gee. Ini aku Dinar.
Nggak nyangka kamu bisa bikin cerita yang sangat ROMANTIS ini. Kemana perginya sosok sadismemu, Gee?
Dinar: Telat kamu, Nar. Masa yang kasih tantangan malah datengnya telat? Dan please jangan kasih alasan sibuk kuliah. Aku tahu kemarin kamu naik gunung sama Cahya kan?
Masa cowok pake latar pink kembang-kembang?
Bencong lo!
Anonim: Eee, yang aku tahu, aku itu cewek tulen dari lahir. Nggak cuma cowok yang bisa nulis GL kok, cewek juga bisa ^_^
Posting Komentar