Pages

Rabu, 23 Juli 2014

Timbun




Lapuk sudah ingatan yang tersisa tentang desa kelahiranku, tergerogot usia yang makin lama makin mendekati akhirnya. Yang kuingat dari tempat itu hanyalah tanaman kentang berdaun besar dan suara gending yang terdengar siang dan malam. Pria-pria tua berwajah merah berjalan linglung tiap pagi menuju sawah sambil membawa cangkul, masih nggliyeng akibat pesta ronggeng semalam.

Simbok tidak pernah mengizinkanku keluar dari rumah sendirian, nggak aman katanya.


Waktu itu usiaku baru sepuluh tahun, aku sama sekali tidak mengerti mengapa aku dipingit bagaikan gadis mau dinikahkan. Yang aku tahu, Bapak kerap kali pulang larut malam sambil berteriak marah, Simbok yang tidur di sampingku pasti akan langsung bangun dan mendekatinya, meski pada akhirnya hanya tamparan dan tendangan yang ia dapatkan. Simbok adalah istri pertama Bapak dan yang paling tua. Dua istri lainnya tinggal di sisi timur rumah, mereka tampak lebih cocok jadi kakakku dibandingkan ibu karena usianya yang masih belasan tahun. Dan kadang pula, Bapak pulang sambil menggandeng gadis ayu yang dipanggil Sang Ronggeng. Jika itu sudah terjadi, Simbok hanya akan memelukku dan menutup terlingaku semalam suntuk.

Malam itu, aku dengar Simbok berteriak keras hingga membuatku terbangun dari tidurku di atas amben. Diam-diam aku berjalan keluar kamar dan mengintip di balik pintu. Kulihat Bapak yang wajahnya merah tengah menampar pipi Simbok. Air mata mengalir turun di pipi yang kemerahan.

Aku tak tahu apa yang tengah aku lakukan hingga akhirnya aku sadar aku sudah berdiri di depan Simbok dengan tangan terentang, berusaha melindunginya.

“Minggir kau, Ayu! Dasar anak tidak berguna!” makian itu masuk ke telingaku dan langsung membuat dadaku sesak. Satu tendangan dilayangkan ke rusukku. Jari telunjuknya teracung ke arah wajah Simbok. “Kau sama saja seperti wanita ini!” Bapak meludah ke wajahnya.

“Bapak ini kenapa?” aku terisak saat mengatakannya. Kupegang dadaku yang perih akibat kena tendang. “Simbok sudah menunggu Bapak seharian! Kenapa Bapak memukul Simbok?!”

Satu tendang lagi dilayangkannya. Kali ini kakiku yang jadi sasaran. Aku jatuh berlutut di depan kakinya. “Tahu apa kau, bocah sialan! Kelahiranmu itu hanya mala petaka! Kalau saja kau tak lahir, aku tak harus menikahi wanita pembawa sial ini!”

Aku sudah siap menerima satu tendangan di wajahku saat tubuh kurus Simbok menjadi bentengku. Tubuhnya bergoncang keras saat tendangan itu menyambar punggungnya yang hanya terbalut kain tipis. Air menetes jatuh dari matanya yang sayu. Tangannya memeluk tubuhku erat, sama sekali tak melepaskannya.

“Jangan pukuli Ayu, Mas… cukuplah kau memukuliku. Jangan sakiti Ayu…”

“Ini semua salahmu! Kalau kau biarkan Ayu menjadi ronggeng, tentunya dia tak akan jadi gadis menyusahkan tak berguna seperti ini!”

Aku terdiam mendengarnya. Mataku panas, namun tak ada air yang jatuh dari sana.

Jadi ronggeng? Apakah Bapak menginginkanku menjadi seperti gadis-gadis cantik berias tebal dengan jarit ketat yang biasa ia bawa ke kamarnya saat malam tiba itu?

“Cukuplah aku yang jadi ronggeng. Aku tak mau Ayu mengalami hal yang sama!” baru kali ini kudengar ibuku berteriak dengan cukup lantang. Matanya terpejam saat mengatakannya, air mata masih terus mengalir tanpa henti. “Aku tak mau Ayu menjual dirinya, seperti diriku. Biarkanlah dia hidup sebagai seorang wanita terhormat, Mas. Biarkan dia menjalani hidup sesuai dengan agama.”

Bapak tampak tak senang dengan kata-kata yang dikeluarkan Simbok. “Omong kosong! Agama sama sekali tak membuatmu hidup! Kau pikir kau bisa makan hanya dengan sholat?” Beberapa tendangan dan pukulan dia layangkan kembali ke punggung Simbok tanpa ampun.

Aku menangis. Takut sekaligus marah. Takut akan kemarahan Bapak dan marah akan ketidakmampuan untuk membela diriku sendiri dan Simbok di saat seperti ini.

Setengah dari malam itu kuhabiskan untuk merasakan tendangan dan pecutan Bapak di badanku. Beberapa bahkan berubah biru dan berdarah, rasanya nyeri. Tapi tak senyeri dadaku yang memendam kemarahan pada pria yang telah membuatku terlahir di dunia.

Sejak malam itu, aku sudah memutuskan untuk memasukkan Bapak dalam daftar orang yang aku benci di dunia ini.

.
…*…
.

Kurasakan sebuah tangan menggoncang pundakku pelan. Aku meringis kesakitan. Lebam yang muncul akibat tendangan nyasar Bapak semalam masih belum sembuh benar. Aku mencoba membuka mata dan kulihat wajah Simbok yang dihias bayangan sentir tengah membungkuk di atasku.

“Bangun, Ayu.”

Simbok? Ini masih pagi kan? Subuh sepertinya belum datang.” Aku mendudukkan diriku di atas ranjang sambil memijat pelan pundakku yang nyeri. Kuperhatikan penampilan Simbok yang lebih rapi dari biasanya dan jarit dengan isi penuh tersampir di pundaknya. Angin dingin menyerangku, membuatku menggigil.

“Kita harus pergi, Ayu. Sekarang juga, sebelum bapakmu bangun,” katanya padaku. Tangannya memberikan beberapa lapis baju ke tanganku dan mengisyaratkannya agar aku segera memakainya. “Kita ke rumah Bulik Kasiah sekarang juga.”

Aku mengedipkan mata, kantuk masih merajai kesadaranku. Bulik Kasiah adalah adik Simbok yang tinggal di Desa Pakisan, tak terlalu jauh dari Legetang yang menjadi tempat tinggalku.

“Kenapa harus pagi-pagi sekali?”

Simbok tak menjawab dan membantuku mengenakan baju tambahan untuk menghalau dingin. Digandengnya tanganku dan kami berjalan mengendap-endap di sepanjang rumah. Matanya tampak awas. Beliau memilih untuk keluar dari pintu belakang yang berhadapan dengan sawah-sawah dibandingkan lewat pintu depan. Seakan tak ingin ada yang melihatnya. Atau mungkin memang itulah tujuannya.

Simbok?” tanyaku lagi.

“Kita harus pergi. Kau nggak boleh ada di Legetang lagi, Nduk.”

“Kenapa?”

Beliau terdiam. Bibirnya mengeluarkan uap panas saat dia membuka mulut kemudiam menutupnya lagi. Dia tampak tak mau mengatakan apapun padaku. Jadilah kami hanya diam sambil menyusuri persawahan, mencari jalan terdekat menuju desa Pakisan yang jarang dilewati oleh orang lain.

Saat akhirnya kami tiba di depan rumah Bulik Kasiah, matahari sudah mulai bersinar kemerahan, dan aku mulai tak dapat merasakan jari-jemariku andai kata Ibu tak menggenggamnya erat. Seraut wajah khawatir kami dapatkan saat Bulik membukakan pintu dan menyuruh Simbok masuk ke dalam rumah. Aku digiringnya masuk ke dalam kamar dan diselimuti dengan beberapa lapis kain tebal untuk menumbuhkan kembali rona wajahku yang hilang dilahap angin dingin.

“Sudah aku bilang jika dia bukan pria yang baik untukmu, Mbak. Kau terlalu baik untuk orang itu.” Samar-samar kudengar Bulik Kasiah berteriak pada Simbok dari balik bilik. “Kau cuma dimanfaatkannya dan dibuang saat wajahmu sudah tak cantik lagi.”

“Namun siapa yang akan menerimaku jika bukan dia, Kasiah?” suara serak Simbok terdengar di antara isakannya. “Siapa yang mau menerima penari ronggeng yang tubuhnya telah dicicipi oleh puluhan pria sebelumnya? Hanya Mas Ahyar yang telah berbaik hati menerimaku sebagai istri.”

“Dan setelah apa yang selama ini dia lakukan padamu, kau masih saja menganggap dia orang baik, Mbak?”

“Aku tak tahu, Kasiah. Aku tak tahu…”

Tubuhku tergoda untuk bangkit dari amben dan mengintip di antara sela-sela kayu yang menjadi dinding kamar. Kulihat Bulik Kasiah tengah memeluk Simbok yang terisak.

“Rumah ini sudah tidak aman untukmu dan Ayu, Mbak. Siang nanti suamimu pasti akan datang dan mengobrak-abrik seisi rumah untuk menyeretmu pulang dan memukulimu.” Bulik Kasiah terdengar ketakutan saat mengatakannya. “Dia tahu jika hanya aku satu-satunya saudara yang masih kau miliki setelah Bapak meninggal.”

“Lalu apa yang harus kulakukan, Kasiah? Tak mungkin aku sanggup melihat Mas Ahyar menyeret Ayu untuk dijadikan ronggeng.”

Bulik Kasiah memeluk Simbok lebih erat lagi. Ia mulai terisak. “Pergilah. Beberapa anak muda hendak meninggalkan desa untuk merantau ke kota sebelah siang hari ini. Kau bisa ikut bersama mereka. Akan kuberikan perbekalan yang cukup untukmu dan Ayu. Carilah pekerjaan yang baik di sana. Bahkan, jika mungkin, carilah seorang suami yang mau menghidupimu dan Ayu.”

“Tapi…” aku tak lagi dapat mendengar percakapan mereka, karena yang aku tahu sekarang adalah duniaku berputar.

Aku akan pergi dari Legetang.

Aku akan… pergi.

Kepalaku pusing.

Rasanya baru kemarin aku sibuk mengintip para petani yang berjalan linglung dari jendela kamar sambil memikirkan apa yang membuat mereka seperti hilang kesadaran. Dan kini, sebelum aku sempat menemukan jawabannya, aku akan ditarik menjauh entah ke mana dari lingkungan yang membesarkanku.

.
…*…
.

Ketukan pintu membunyarkanku dari konsentrasi mencuci baju. Kulepaskan kain bercorak bunga-bunga dengan noda darah pada bagian belakangnya dan kukembalikan dalam rendaman air. Setidaknya sekarang aku punya alasan untuk berhenti berkutat dengan noda itu.

Wajah cantik Bulik Kasiah muncul di balik pintu. Seluruh wajahnya pucat seolah kedinginan, padahal udara di Wonosobo tak lebih dingin dari udara Dieng tempat kami berasal. Matanya terlihat sembab, perpaduan antara kesedihan dan ketakutan.

Belum sempat aku menanyakan ada gerangan apa hingga Bulik datang jauh-jauh dari Dieng ke Wonosobo, dia sudah lebih dulu menyela, “Ayu, di mana ibumu?!”

Simbok masih ada di rumah kepala desa. Baru jam lima nanti pulang, setelah selesai membersihkan rumahnya,” jawabku. Kubuka pintu lebih lebar dan kupersilahkan dia masuk. “Memang ada apa Bulik? Apa ada masalah di Legetang?”

Wanita itu tampak panik. Terakhir kali aku melihat Bulik Kasiah seperti ini adalah lima tahun lalu, saat aku dan Simbok diam-diam turun ke Wonosobo mengikuti para pemuda yang hendak merantau di kota. Perjalanannya sungguh berat, dan kehidupan kami di Wonosobo juga tidaklah mudah. Luntang-lanting Simbok cari pekerjaan, hingga akhirnya kepala desa memperkerjakan dia sebagai rewang di rumah besarnya. Bahkan Simbok juga dipinjami rumah kecil di tepi desa, dekat dengan kuburan.

Bukan rumah yang bagus, tapi setidaknya bisa digunakan sebagai tempat berteduh ketika hujan turun. Dan kami sangat berterima kasih padanya.

Aku bersyukur, Wonosobo bukan kota yang menakutkan seperti yang kubayangkan saat masih kecil. Wonosobo adalah kota yang lebih ramah dibanding desa tempatku berasal. Udaranya mungkin tak sedingin Legetang, tapi aku merasa nyaman di tempat ini. Seolah aku lahir dan dibesarkan di sini. Dan tanpa aku sadari, mungkin aku sudah tak akrab lagi dengan kota asalku.

Kuhidangkan teh di atas meja. Bulik sama sekali tak menyentuhnya. Aku menghela napas panjang dan duduk di hadapannya. “Apa ada masalah? Kalau ada, Bulik bisa menceritakannya padaku. Aku sudah dewasa, tahun depan aku akan menikah dengan putra kepala desa. Aku sudah dapat memahami masalah orang dewasa.”

“Aku akan mengatakannya juga padamu, Ayu. Tapi aku juga harus mengatakannya pada Ibumu. Kita bicarakan nanti. Bersama-sama.”

Aku mengangguk mengerti. “Bulik istirahat saja dulu. Pakisan Wonosobo bukan jarak yang dekat bukan?” kataku. Dia hanya diam saja sambil memandangi gelas tehnya. Aku menghela napas dan kembali berjalan ke belakang rumah. Ada noda darah yang harus aku tangani dulu untuk sore ini.

Saat suara salam dari pintu depan terdengar, aku tengah menjemur kain bunga-bunga itu sembari berharap malam ini hujan tidak turun.

Buru-buru aku berlalu ke depan, menyambut Simbok yang baru pulang.

“Kasiah?” kulihat Simbok bertanya tak mengerti saat Bulik Kasiah langsung menerjang dan memeluknya sambil menangis. Matanya yang bingung memandangku, meminta untuk diberi penjelasann selengkapnya.

Aku mengangkat bahu dan menggelengkan kepala.

“Kapan kau datang? Sudah lama kah?” Simbok berkata sambil mengelus punggung Bulik Kasiah. Berusaha menghentikan isak tangis yang jelas bukan tangis keharuan akibat lama tak berjumpa. “Apa ada masalah dengan pernikahanmu, Kasiah? Katakanlah pada Mbak-mu ini. Siapa tahu aku dapat memberi saran.”

Bulik menggeleng pelan dan mengusap air matanya. “Legetang, Mbak. Legetang…”

“Ada apa dengan Legetang?” Simbok tampak siaga begitu mendengar desa asal kami disebut. Sudah menjadi rahasia di antara orang-orang terdekat untuk tak menyebut nama Bapak ataupun Legetang di depan Simbok kecuali dalam keadaan darurat.

“Legetang hancur, Mbak… Legetang sudah hilang…”

“Apa maksudmu hilang? Apa hasil panen di Legetang tidak memuaskan? Bukankah tanah di sana adalah yang paling subur?” Simbok menuntuk Bulik Kasiah untuk duduk di atas kursi kayu. Tangannya memelai lembut tangan adiknya. Khawatir tampak jelas di wajahnya yang mulai menua. “Apa yang terjadi?”

“Legetang sudah hilang… azab… itu yang dikatakan warga desa, Mbak. Tak ada satupun yang selamat… bahkan Mas Rahyono yang sedang berkunjung pun tak lepas dari maut…” bisikan itu terdengar menyakitkan. “Tak ada satupun yang selamat. Hanya Kastari, istri Bau Rana yang masih hidup karena pergi dari desa malam sebelumnya…”

Aku memandang wajah Simbok yang tampak tak mengerti. Kisah Bulik terlalu rancu, aku sampai tak dapat memahami maksud ceritanya.

“Tarik napas dulu, Kasiah. Minum tehnya,” Simbok memberi intruksi. Menuntun gelas teh ke arah tangan gemetar Bulik Kasiah. “Sekarang ceritakan pada kami apa yang telah terjadi di Legetang.”  

“Gunung Pengamun-amun tompal. Mas Rahyono sempat berkata ada retakan besar di sana tiga minggu lalu. Tapi kami tak mengindahkannya. Minggu lalu terdengar guntur yang sangat keras dari arah gunung. Longsor. Gunung Pengamun-amun longsor. Tanahnya jatuh di atas Legetang… semuanya menghilang.”

“Itu tidak mungkin! Bukankah ada jurang dan sungai yang memisahkannya?! Jangan mengarang cerita yang tidak masuk akal padaku, Kasiah!”

“Demi Allah, Mbak! Aku nggak berbohong! Tanahnya meloncat, bahkan jurang dan bukit sama sekali tak tersentuh!” Bulik Kasiah menangis sambil menutup wajahnya. Aku memeluknya dari samping sambil mengusap lengannya yang gemetar. “Semua warga desa Legetang dan beberapa warga desa tetangga yang datang menonton pertunjukan ronggeng malam itu terkubur semuanya… bahkan tak satu pun bagian Desa Legetang tersisa. Semuanya habis, hanya menyisakan sebuah gundukan tanah seperti bukit.”

Simbok terdiam. Air mata jatuh ke pipinya. “Mas Ahyar…”

“Tak ada yang selamat. Bahkan tak ada yang berani membuka tanah di sana, hanya rumah Bau Rana saja yang digali… selain itu tetap dibiarkan terpendam.”

Bulik Kasiah terisak. Simbok terisak. Aku diam melihat mereka menangis. Ingatanku kembali di masa-masa Bapak sering memukuli Simbok, saat aku ditendanginya, saat dia pulang dengan menggandeng wanita-wanita cantik untuk kesenangannya sendiri. Aku terdiam. Haruskah aku menangis untuk pria itu?

Ayu… putri Bapak yang cantik! Ayo ke sini!

Aku bahkan tak ingat muncul dari mana kenangan itu. Tapi senyum lebar Bapak dan tangannya yang terentang ke arahku cukup membuat dadaku sakit.

Dan kini Bapak sudah pergi. Meninggal. Tertimbun di dalam tanah. Membusuk bersama cacing-cacing yang selama ini menggemburkan tanah Legetang.

Satu tetes, dua tetes, tiga tetes. Aku menangis.

Jangan salahkan aku. Salahkan saja siapapun yang pernah berkata jika darah lebih kental daripada air. Kebencian yang selama ini aku pendam dapat dengan mudah luntur akibat kenangan sederhana yang tak pernah kutahu asalnya.

Baru kali ini aku menyadari, penyesalan selalu datang di akhir. Andai kata Bapak masih hidup, aku pasti akan bersujud di kakinya dan memohon ampun.

Sayang, kini nasi telah menjadi bubur.

.
…*…
.

Mbah Uti mau ke mana?” pertanyaan bernada polos itu keluar dari gadis kecil yang tengah mengusap mata mengatuknya. “Kalau ke warung, Chacha ikut ya? Chacha bawa uang sendiri, kok.”

Aku tersenyum melihat gadis kecil dengan piyama bergambar beruang itu. Cucu pertama dari anak sulungku. Kutepuk kepalanya pelan. “Nggak, Mbah Uti mau ziarah.”

“Ke tempat Mbah Buyut Putri?” aku tersenyum melihat wajah polosnya. Dia berlari memeluk pinggangku dengan cepat. “Aku ikut juga ya!” Ah, dia pasti ikut karena berpikir jika aku akan ke makam desa, maka kami akan melewati warung nantinya.

Aku berlutut di hadapannya. “Bukan Mbah Buyut Putri, tapi Mbah Buyut Kakung.”

“Memang kuburan Mbah Buyut Kakung di mana? Nggak di kuburan desa juga ya?”

“Bukan, kuburannya jauh dari sini. Sangat jauh. Chacha harus naik bus dan pakai ojek kalau mau pergi ke sana,” jawabku.

Gadis itu mengerucutkan bibirnya tanda tak menerima penjelasanku. “Kenapa Mbah Buyut Kakung nggak dikuburkan di samping Mbah Buyut Putri saja? Kan kasihan kalau kuburannya terpisah jauh seperti itu.”

Dia sudah dimakamkan bersama dengan istri-istri lainnya.

Kurasa itu bukan kalimat yang tepat untuk menjawab pertanyaan seorang anak kecil yang masih polos. Maka dari itu aku cubit hidungnya dan tersenyum. “Jarak tak membuat seseorang menjadi kesepian, Chacha. Mbah Buyut Kakung dan Mbah Buyut Putri pasti sudah ketemu lagi di surga.”

Dia tersenyum mendengarnya.

Kulihat Bambang, putraku yang paling tua, ayah dari Chacha keluar dari kamar dan langsung menggendong putrinya dengan sayang. “Ibu sudah mau pergi? Yakin, nggak mau dianter pakai mobil?” tawarnya entah sudah keberapa kalinya.

“Biar Ibu sendiri saja, bus banyak sekarang. Lagipula Ibu sudah kangen sama desa asal.”

Bambang mengangguk paham. “Aku masih tidak bisa percaya jika Ibu besar di desa seperti itu. Akhir-akhir ini banyak yang membahasnya di media cetak. Katanya desa itu penuh dengan maksiat. Dan longsor yang jatuh itu hukuman dari Allah.” Chacha bergerak gelisah di gendongannya. “Lagipula tempat itu juga sudah bukan kuburan, Bu. Itu sudah menjadi lahan pertanian. Cuma ada tugu besar sebagai pengingatnya saja.”

“Tapi simbahmu tetap di kubur di sana, Bambang.” Aku berkeras menentangnya. “Sudahlah, Ibu pergi dulu. Bisa kehabisan bus kalau kesiangan.”

“Memang Mbah Uti asalnya dari mana? Kok kuburan bisa jadi sawah? Kata temenku nanti bisa didatengi hantu lho kalau buat yang aneh-aneh di kuburan.”

Pertanyaan bernada polos itu membuatku mengusap rambutnya yang ikal berantakan. “Dari Desa Legetang.”

“Legedang?”

“Legetang,” koreksiku. “Sebuah desa tua yang akan menjadi bukti azab adalah hal yang nyata.”

Chacha tampak tak mengerti dengan kata-kataku. Bukan salahnya, dia masih terlalu kecil untuk mengerti hal semcam ini. Dia melompat dari gendongan ayahnya dan berlari memeluk pinggangku yang kurus. “Nenek nggak akan tinggal di Legedang lagi kan? Nenek akan tinggal di Wonosobo bareng Bapak, Ibu sama Chacha kan?”

Kutepuk kepalanya pelan. “Ya. Wonosobo adalah kota yang cantik. Di sinilah Mbah Uti berharap akan mati dan dimakamkan. Persis seperti Mbah Buyut Putri dulu.”

Tak ada yang perlu kusesali sekarang. Tak juga kepergianku dari Legetang. Aku bersyukur telah memulai hidup baru di tanah yang baru. Mengemban segala kesulitan dan kemudahan hidup hingga akhirnya dapat kutemukan kebahagiaan yang haqiqi.

Wonosobo. Kota kecil dengan udara yang segar, tanah yang subur, warga yang ramah dan segala kelebihan lainnya. Tempatku akan menghabiskan hari tua dengan serpihan-serpihan kebahagiaan kecil yang dapat aku nikmati di penghujung usia.

.
…Selesai…
.

Cerpen ini diikutsertakan dalam Lomba Menulis Cerpen #HariJadiWonosobo189


Selamat Hari Jadi Wonosobo ke 189 Tahun. Semoga semakin bertambah tua, kotaku semakin bertambah baik lagi dan lagi. Semoga perkembangan pariwisatanya juga makin baik ya. Masih banyak tempat berpotensi yang bisa dijadikan tempat wisata lho. Legetang salah satunya. Diselimuti kisah mistis dan kabut yang membuat suasana terasa makin menyeramkan. Ini hanya sebuah cerpen biasa, kesamaan nama tempat memang disengaja. Namun kesamaan nama tokoh (kecuali Bau Rana dan Kastari yang merupakan tokoh asli Legetang) hanyalah kebetulan semata.

Terima kasih.

0 komentar:

Posting Komentar