Innoncent Love
Story by Geesha Ganita Andika
Bunga/Genre Romance
...*...
Tujuh hari yang lalu aku bermimpi…
Bertemu dengannya, menatap wajahnya dan membalas senyumnya.
Dan kini waktu berputar pada porosnya dan mempertemukan aku dengan
dirinya kembali, setelah segalanya yang terjadi.
Dia…
…*…
Aku terdiam saat gadis yang setahun lebih muda dariku itu memeluk bahuku
dan terisak pelan di sana. “Sekolah akan terasa membosankan tanpa Kakak dan Kak
Risa. Aku akan merindukan kalian…”
Sebuah senyum sendu terukir di wajahku mengingat jika hari ini adalah
hari terakhir di mana aku harus mengakhiri masa sekolahku dan melangkah maju
untuk menuju masa depan yang kudambakan.
Kualihkan tatapanku pada Arisa Angelia, sahabatku, yang sedang mengacak
surai salah seorang adik kelas yang tengah menyalami keberhasilannya dan
menangisi perpisahan mereka. Sedikit terasa lega batinku mengingat di tempat
asing nanti aku tak sendiri, Risa juga diterima di universitas yang sama, meski
berbeda fakultas. Aku ada di Tekhnik Geologi sementara gadis hiperaktif itu
memilih menekuni hobinya di Fakultas Arkeologi.
Ini adalah hari penting untuk kami karena esok matahari akan terbit
kembali membawa segala perubahan. Dan saat itulah status kami telah beranjak
menjadi seorang mahasiswi.
“Kakak senang kan, mulai besok Kakak akan satu sekolah dengan ‘dia’,”
goda Elisa sembari mengusap air matanya dan memasang sebuah cengiran konyol
seperti yang biasanya kukenal selama dua tahun terakhir.
Aku mendesah kecil, “Siapa aku baginya, Lis? Dia bahkan tak mengenal
namaku, sosokkupun asing bagi matanya. Makna apa yang harus kutunggu darinya?”
tanyaku dengan nada yang ternyata lebih pahit dari yang kuharapkan. Kulirik
kembali Risa yang masih sibuk menata sanggulnya sembari menggerutu pelan pada
anak di hadapannya. “Aku bukan Risa yang bisa berkata dengan jujur mengenai
perasaannya. Ini berbeda, Elisa.”
Sebuah senyum paham terkembang di wajah gadis imut itu, “Aku mengerti.”
Kenangan hambar yang penuh akan perasaan itupun kini mulai merasuk dalam
ingatan kami, mengembangkan sepasang senyum yang tak kalah pahit tatkala
ingatan kami kembali pada masa-masa remaja yang penuh akan kenaifan.
Masa-masa yang sebenarnya belum genap setahun berlalu.
…*…
Dia adalah sosok yang terlalu sempurna, sangat berbeda dengan diriku
yang tak memiliki sisi istimewa. Dia bagaikan matahari yang bersinar terang
sementara aku hanyalah bumi yang senang tiasa setia berputar mengelilinginya,
menggantungkan cita-cita dan harapanku dalam cahayanya yang menyilaukan.
Cahaya yang aku tahu tak akan pernah dapat kuraih dan kugenggam meski
sekuat apapun aku berusaha.
Bukannya aku terlalu pesimis atau tak memiliki harapan. Sungguh, aku
memiliki cita-cita besar yang memerlukan banyak usaha untuk meraihnya. Namun
ada satu impian yang tak sanggup, atau mungkin memang tak ingin, kuraih. Yaitu
bersamanya.
Cukup bagiku memandang senyumnya yang terukir bisu dalam foto-fotonya.
Melihat kebahagiaan yang terukir jelas di wajahnya. Dan membaca kata-kata indah
yang ditulis oleh dirinya. Semua telah cukup bagiku.
Kau tanyakan padaku ‘mengapa’?
Jawabannya adalah karena dia tak mengenalku. Dia tak pernah mendengar
namaku dalam daftar kenalannya. Dia tak pernah mengingat rupaku dalam memori
otaknya. Dan dia tak pernah menyadari entitasku dalam lingkup kehidupannya.
Memang apa lagi yang harus kuharapkan dari orang yang sama sekali tak
mengenalku? Menjadi kekasihnya?
Hah, aku bukanlah punuk yang merindukan bulan. Aku tak akan berhayal
terlalu tinggi. Aku tak siap merasakan sakitnya terjatuh akibat khayalan tak
berdasar itu. Biarlah Tuhan saja yang menjadi saksinya.
Saksi jika aku mencintainya.
…*…
Aku duduk berpangku dagu sembari mengedarkan pandanganku menjelajahi
taman yang dipenuhi oleh puluhan bahkan ratusan mahasiswa sepertiku hanya untuk
mencari seseorang. Dari kejauhan kulihat seorang gadis dengan ekspresi
mengantuk di wajahnya berjalan gontai menembus kerumunan orang menghampiriku.
“Bagaimana ospeknya?” tanyaku sambil menepuk tempat di sebelahku
mempersilahkannya duduk.
Dia mengangkat bahunya tak acuh. “Membosankan. Nyaris saja aku
memejamkan mataku andai aku tak mengingat jika aku duduk di posisi terdepan,”
gumamnya sambil merebahkan pantatnya di sisiku. Sepintas kulihat senyum
liciknya terkembang saat matanya menangkap sesosok pemuda yang tak jauh berada
di hadapan kami.
“Jangan berkomentar, Ris. Jangan berkomentar,” desisku lirih setengah
mengancamnya.
Sialnya aku lupa jika Risa sudah cukup lama mengenalku untuk mengacuhkan
ancamanku. “Ini hari terbaikmu, eh? Lihatlah pangeranmu sudah ada di hadapanmu,
bagaimana kalau kau sapa dia? Siapa tahu kelak dia akan jatuh cinta padamu?”
“Bukankah aku sudah bilang untuk tak berkomentar?”
“Hei! Aku hanya mendukungmu, Ayu Mahardewi. Bagaimana mungkin kau bisa
menjadi kekasihnya kalau kau bahkan tak pernah mau memberanikan diri untuk
sekedar berkata ‘Halo’ padanya?”
“Berhentilah bersikap picisan, Ris. Dunia ini bukanlah dunia Cinderella
di mana pangeran tampan bisa jatuh cinta pada gadis udik,” jawabku sinis sambil
memakan roti yang menjadi bekal makananku.
Risa hanya tertawa saja mendengar kata-kata yang kuucapkan dengan penuh
kepahitan. “Kau memang benar. Tidak ada peri yang akan mengubahmu menjadi
cantik hanya dengan ‘Simsalabim!’ namun bukan berarti kau tak memiliki
kesempatan untuk bersamanya,” jawabnya dengan nada serius yang jarang terlontar
dari bibirnya. “Aku tahu kau menganggapnya bagai malaikat suci yang tak dapat
kau raih, Yu. Tapi kau salah. Dia manusia. Sama seperti kita. Dan bagi manusia,
tak ada segala sesuatu yang mustahil untuk dilakukan.”
Terdiam. Lagi-lagi hanya itu yang dapat kulakukan mendengar kata-kata
tajam bernada sarkatis yang diluncurkan Risa. Namun aku tak dapat menyangkal
jika kata-kata itu benar adanya.
Kutatap sosok pemuda yang tengah bercanda dan tertawa dikelilingi banyak
teman-temannya itu. Pangeran yang telah merebut atensiku meski ini mungkin
adalah pertemuan pertama kami baginya. Kulihat dia tertawa dengan tawa yang
biasa dia tampilkan dalam foto-foto bisunya yang terkoleksi rapi di dalam
laptopku.
Entah mengapa aku tersenyum.
“Yu? Ayu?” Risa melambaikan tangannya di depan wajahku mencoba mengetes
reaksiku.
Aku menoleh. “Memang tak mustahil. Tapi bagiku melihat kebahagiaannya
adalah yang terbaik untukku.”
…*…
Dia adalah sosok yang menginspirasi setiap langkah yang kutempuh saat
ini. Sosok yang mendukungku saat aku jatuh terpuruk dalam dalamnya lubang keputusasaan.
Dan dia adalah sosok yang membuatku merasakan bagaimana rasanya meraih awan dan
menggenggamnya dalam tanganku.
Dia adalah sosok yang istimewa.
Tanpa dia sadari, entitasnya yang begitu sempurna itu telah mendiami
salah satu lubuk hatiku yang terdalam. Suaranya yang hanya dapat kubayangkan
dari kata-kata puitisnya adalah nada-nada romansa yang beresonansi dengan
melodi jiwaku dan senyumnya yang sangat memesona itu… itu adalah candu terhebat
yang dapat kurasakan. Mengikatku dalam keegoisan untuk tetap memandangnya dan
menjaganya.
Aku tak mengerti akan perasaan ini. Risa dan Elisa dapat dengan gamblang
mengatakan jika perasaan itu adalah ‘cinta’. Namun sungguh, perasaan ini amat
berbeda dengan cinta yang selama ini kukenal, begitu berbeda dengan perasaan
pada seseorang yang selama ini selalu kuanggap sebagai cinta pertamaku.
Apakah ini berarti aku telah mengenal cinta yang sesungguhnya?
Ataukah ini hanya salah satu fatamorgana yang menjerat hati para gadis
muda dan membuat mereka melayang ke angkasa?
Ah, aku tak mengerti.
Namun ada satu hal yang aku tahu pasti.
Aku tak ingin memilikinya.
Aku hanya ingin terus melihat kebahagiaannya dan memandangnya dalam
kesunyian perasaanku yang terkoyak dalam kekagumanku atas pribadinya.
…*…
“Hari ini kau harus memberanikan dirimu untuk menyatakan perasaanmu
padanya, Ayu. Tak ada kesempatan lain lagi. Ini adalah yang terakhir,” kudengar
Risa menyemangatiku sambil merapikan tatanan rambutku yang mulai kacau akibat
keteganganku.
“Jangan membuatku panik, Ris!” protesku sambil memainkan buket bunga
lily putih di tanganku dengan cemas. “Aku tahu jika ini adalah hari wisudanya.
Namun bukankah dia akan tetap ada di kampus karena dia memutuskan untuk menjadi
asisten dosen di sana?”
“Benarkah?”
Bodohnya aku yang lupa jika Risa bukanlah anak Tekhnik Geologi sepertiku
hingga aku menuruti sarannya untuk menyatakan perasaanku padanya di hari
wisudanya ini. “Ah! Kurasa aku masih punya waktu untuk kembali ke kos dan
mengetuk kepalaku dengan palu.”
“Sudah terlambat untuk mundur, Yu. Cepat lakukan!” katanya riang sembari
mendorong punggungku agar aku berjalan mendekati sosok yang telah lama kukagumi
itu.
Tinggal tiga meter lagi, dua meter lagi, satu me…
“Terima kasih ya, Mil. Aku senang kau memberikanku buket ini,” kudengar
dia berkata dengan nada lembut pada gadis molek yang baru saja memberikannya
sebuket mawar putih sebagai hadiah kelulusan. “Aku berjanji, aku akan segera
mencari pekerjaan yang baik sehingga kau tak perlu malu saat aku datang
menghadap orang tuamu kelak.”
Saat itu juga kurasakan dunia yang sebelumnya berisik dengan tawa dan
suka cita dari keluarga dan para wisudawan yang ada di sekitarku menghilang.
Hening, hanya itulah yang kurasakan.
Ah, jadi dia sudah memiliki kekasih ya?
Kutatap buket lily yang ada dalam pelukanku sambil mendesah pelan.
“Hilang deh, tujuh puluh ribu untuk hal sia-sia…”
…*…
Kutahan diriku agar tak menguap tatkala dosenku mengulang hal yang sama
entah untuk keberapa kalinya. Bosan, kualihkan pandanganku menatap taman yang
terbetang di bawahku. Di sanalah kembali aku menemukan dirinya.
Kali ini tawanya tak lepas, ada sedikit gurat kesedihan yang terukir di
wajahnya. Itu wajar saja, mengingat esok adalah hari di mana dia akan berpisah
dengan sahabat-sahabatnya dan menapaki dunia baru yang asing baginya.
Aku mendengarnya dari Elisa yang merupakan sahabat pemuda itu sejak
mereka masih belia. Dia mendapatkan tawaran untuk bekerja di sebuah perusahaan
ternama di California. Dan dia menerimanya.
Esok adalah hari kepergiannya, entah mengapa aku merasa kesepian. Apa
aku tak akan dapat melihat senyumnya lagi? Aku menggeleng menghalau segala
pikiran buruk itu. Dalam hati aku berdoa untuknya…
Semoga di sana dia dapat tersenyum bahagia.
…*…
Detik, menit, jam, hari, minggu, bulan, dan tahun berlalu dengan
cepatnya. Kini aku tlah berubah menjadi wanita setengah tua yang separuh
rambutnya telah memudar. Aku tumbuh dewasa, bekerja, menikah, memiliki anak dan
akhirnya memiliki cucu juga.
Bahkan kini aku sedang dalam perjalanan menuju kota kelahiranku untuk
menemani putri bungsuku yang akan menikah esok hari. Apa boleh buat,
pekerjaanlah yang membuatku terlambat pulang ke rumah sehingga tak dapat
membantunya mengurus pernikahannya.
Bus mulai melaju dengan kecepatan sedang saat kulihat seorang pria yang
usianya tak jauh berbeda denganku sedang kerepotan mencari tempat duduk.
Kusunggingkan senyum untuknya dan mempersilahkannya duduk di sampingku.
“Wonosobo?” tanyanya memulai pembicaraan.
Aku mengangguk. “Ya.”
Dan pembicaraan dimulai, ternyata pria itu berasal dari daerah yang sama
denganku juga. Dia berkisah jika dia baru saja kembali dari perjalanannya ke
beberapa negara dan sekarang ingin kembali bernostalgia dengan pulang ke
Wonosobo menggunakan bus seperti ketika dia masih belum sukses dulu.
“Ah, kita sudah bicara banyak namun belum berkenalan ya?” tiba-tiba dia
menghentikan kisahnya yang entah mengapa membuatku terpesona.
Aku mengangguk. “Ayu Mahardewi,” kataku singkat sambil megulurkan
tanganku padanya.
Sejenak kulihat mata pria itu terbelalak kaget. “Ayu Mahardewi yang
ketua BMKG? Wah, saya tak menyangka jika saya telah bertemu dengan salah
seorang wanita yang cukup hebat,” sanjungnya sehingga membuat pipiku merona.
“Kenalkan, Praditya Hendi.”
Aku terdiam. Nama itu… benarkah? Apakah mungkin?
Aku menatapnya, sosoknya masih sama dalam bayanganku. Senyum ramahnya,
suaranya, kata-kataya, semuanya tak berubah. Semuanya masih tetap membuatku
merasa hangat.
Pekerjaanku dan nostalgianya, akankah ini merupakan salah satu permainan
aneh takdir yang tak kupahami? Setelah semuanya berakhir puluhan tahun lalu
tanpa sempat aku memulainya, akhirnya kami dipertemukan lagi?
Aku tersenyum pelan, kini aku mengerti arti perasaanku padanya. Yang
kurasakan padanya memang cinta. Namun bukan perasaan cinta yang sama seperti
perasaanku pada suamiku kini, tak ada rasa kesal, cemburu dan jengkel untuknya.
Cinta ini bukanlah cinta seorang wanita untuk seorang pria, melainkan
cinta seorang gadis untuk pemuda yang disayanginya. Cinta yang polos dan murni,
cinta yang tak menuntut. Hanya ingin melihat kebahagiaan orang yang diayanginya
tak lebih.
“Senang berkenalan dengan anda.”
Setidaknya kini dia telah mengenalku…
…*…
Tujuh hari yang lalu aku bermimpi…
Bertemu dengannya, menatap wajahnya dan membalas senyumnya.
Dan kini waktu berputar pada porosnya dan mempertemukan aku dengan
dirinya kembali, setelah segalanya yang terjadi.
Dia…
Praditya Hendi.
...END...
Halo, saya Gee atau jika di FFn lebih dikenal dengan nama Hime Hoshina. Blog ini adalah tempat untuk saya mengepost non-FF atau original fict sebagai wadah latihan untuk saya sendiri.
Eeee, saya bukan tipe yang pandai berkata-kata, tapi terima kasih telah menyempatkan diri untuk mampir dan membaca FF ini.
^_^
Picture from facebook with a little transformation from me.
4 komentar:
Maa! Kak gee! Kirim ke penerbit, kak! #plak
Makasih Nadya >_< sayangnya ini cerpen kalah lomba, jadi nggak bisa dibukukan :D
Yaaaah, sayang sekali kak Gee. Padahal bagus ._.
tapi apa boleh buat. Ini end mandek di sini kak? Nggak ada sequel? :3
Kayaknya nggak ada, aku udah pisah sama si tokoh utama. Dan dunia kuliah kami nggak seperti yang kami rencanakan di kisah ini X'D Dan Mas itu juga masih kuliah di tempatnya sendiri... akhirnya, semua berakhir sebelum kisah ini dimulai...
Posting Komentar